KOTA MALANG - Perkebunan tembakau merupakan sektor hulu yang harus mendapat perhatian, tanpa adanya sektor hulu yang kuat, maka Industri Hasil Tembakau (IHT) tidak akan tumbuh dan berkembang dengan baik. Demikian sebaliknya, tanpa adanya struktur IHT yang kuat, maka sektor perkebunan tembakau tidak akan berkembang.
Berdasarkan data, terlihat bahwa perkebunan tembakau tersebar di hampir seluruh pulau di Indonesia, terutama pada 14 provinsi yang menjadi pengasil tembakau cukup besar. Sekitar 99 persen perkebunan di Indonesia adalah perkebunan rakyat. Hal ini semakin menguatkan bahwa perlu adanya peran pemerintah untuk melindungi perkebunan tembakau yang mayoritas merupakan perkebunan rakyat.
Keberadaan tembakau sebagai komoditi yang tidak diunggulkan dibanding dengan berbagai komoditi pertanian lainnya di Indonesia, telah menyebabkan ketiadaan kebijakan dan pengaturan dalam tata niaga tembakau dan produk tembakau. Para petani tembakau terjebak dalam situasi yang tidak dapat dihindari, karena mereka tidak memiliki faktor lingkungan yang melindungi serta memberdayakan, mulai di level mikro maupun makro.
Hal ini menunjukkan ke depan perlu strategi-strategi, kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah serta keberpihakan IHT pada petani tembakau. Maka dari latar belakang permasalahan-permasalahan tersebut BAKN DPR RI melakukan kunjungan ke Universitas Brawijaya untuk menjalin forum diskusi mengenai dinamika pengelolaan hasil tembakau dan kebijakan cukai pada industri rokok, Senin (5/12).
Beberapa narasumber dihadirkan dalam forum diskusi tersebut, seperti Guru Besar FMIPA UB Prof. Drs. Sutiman Bambang Sumitro SU, DSc yang membahas mengenai tentang polemik kesehatan terhadap dampak rokok dan bagaimana solusi alternatifnya. Prof. Dr. Candra Fajri Ananda SE, MSc selaku Guru Besar FEB UB juga turut memberikan perhatian kepada kebijakan cukai dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
Wahyu Sanjaya selaku ketua BAKN mengungkapkan bahwa selama ini cukai tidak berdampak pada petani tembakau, karena hingga kini cukai hasil tembakau distribusinya lebih mengarah kepada daerah penghasil industri daripada para petani sehingga menurutnya alokasi cukai hasil kepada petani tembakau “big zero”. Menurutnya disinilah peran UB dalam memberikan gagasan-gagasan melalui pakar yang berkompeten untuk membantu secara kompeherensif dalam mengatasi permasalahan cukai dan komoditi tembakau.
“Sangat disayangkan dengan alokasi APBN dari 2400 triliun tersebut, hanya 1 miliar yang dianggarkan untuk membantu dan memperhatikan kesejahteraan petani tembakau. Ditambah lagi hampir 90 persen lebih kita melakukan impor tembakau dan tidak ada instrumen yang tepat untuk memantau impor tembakau, karena “green zone policy”. Hal ini cukup jelas apabila kebijakan pemerintah masih belum berpihak kepada masyarakat petani tembakau, ” ungkapnya.
Adapun masukan terkait pengelolaan cukai hasil tembakau melalui pertimbangan rancangan Peraturan Presiden diantaranya adalah : (1) Penerapan Good Agricultural Practices (GAP) untuk meningkatkan produk dan mutu tembakau dan Good Manufacturing Practices (GMP). (2) Peningkatan kesejahteraan dan kualitas petani serta tenaga kerja sektor hulu, ditambah peningkatan kualitas SDM di IHT dengan menggali potensi petani lewat pendidikan hingga pelatihan. (3) Optimalisasi kemitraan petani dengan industri hasil tembakau, serta optimalisasi rantai pasok dalam rangka menjamin ketersediaan dan terserapnya tembakau dalam negeri. (4) Pengembangan standarisasi produk industri hasil tembakau, serta diversifikasi produk tembakau melalui kosmetik, parfum, biopestisida, liquid vape, industri farmasi dan sebagainya. (5) Penelitian dan Pengembangan Inovasi Teknologi. (6) Pola perdagangan tembakau dan peningkatan kinerja ekspor tembakau. (humas)